Jakarta 6 Febuary 2025 - Pengacara Julianes Paulus Sembiring menegaskan bahwa tindakan seseorang yang melakukan review produk tanpa dasar yang jelas dapat berpotensi melanggar hukum. Hal ini merujuk pada peraturan BPOM serta beberapa ketentuan dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Menurutnya, BPOM memiliki aturan ketat mengenai klaim suatu produk, yang diatur dalam Peraturan BPOM Nomor 3 Tahun 2022 pada Bab 3 hingga Bab 5. Aturan tersebut menjelaskan bahwa klaim produk hanya boleh mencakup manfaat, mutu, dan keamanan berdasarkan standar yang telah ditetapkan, bukan berdasarkan uji laboratorium mandiri yang belum tentu memiliki akreditasi.
“Jika ada pihak yang melakukan review tanpa dasar yang jelas dan berujung pada penyebaran informasi yang menyesatkan, maka itu bisa masuk dalam perbuatan hukum. Misalnya, jika pernyataan tersebut mengandung kebohongan atau mencemarkan nama baik, maka dapat dikenakan Pasal 390 KUHP, Pasal 28 Ayat 1 UU ITE, serta UU Nomor 30 Tahun 2000 tentang perdagangan yang tidak sehat,” jelas Julianes dalam jumpa persnya di kawasan Tebet Dalam, Jakarta Selatan, Kamis (6/2).
Laporan Dr. Andreas Henf Sit Tungkir ke Polda Sumut
Kasus ini mencuat setelah Dr. Andreas Henf Sit Tungkir melaporkan akun media sosial “Doktif” atas dugaan pencemaran nama baik. Laporan ini dibuat pada Oktober lalu di Polda Sumatera Utara dan kini telah memasuki tahap penyidikan.
“Terkait laporan Dr. Andreas, pasal yang disangkakan adalah Pasal 27 Ayat 3 UU ITE Nomor 1 Tahun 2004 tentang penghinaan atau pencemaran nama baik. Saat ini, penyidik telah memanggil beberapa pihak untuk dimintai keterangan,” tambahnya.
Julianes juga menegaskan bahwa dalam proses hukum ini, dirinya tidak dapat berbicara lebih jauh mengenai bukti-bukti yang telah dikumpulkan karena hal itu menjadi wewenang penyidik.
Review Produk Harus Sesuai Regulasi
Lebih lanjut, Julianes menjelaskan bahwa dalam Perpres Tahun 2017, kewenangan pengawasan terhadap produk, termasuk kosmetik dan obat-obatan, berada di tangan BPOM. Oleh karena itu, seseorang tidak bisa sembarangan melakukan uji laboratorium tanpa memperhatikan akreditasi dan metodologi yang benar.
“Tugas BPOM adalah melakukan pengawasan, sementara masyarakat bisa melaporkan dugaan pelanggaran. Jika seseorang melakukan review dengan uji laboratorium sendiri tanpa akreditasi yang jelas, lalu menyampaikan ke publik bahwa suatu produk tidak layak pakai, itu bisa menjadi masalah hukum,” katanya.
Dukungan dari IDI dan Regulasi Etika Dokter
Terkait dampak dari review yang dilakukan oleh akun “Doktif”, Julianes menambahkan bahwa hal ini tidak hanya merugikan Dr. Andreas secara pribadi, tetapi juga berpotensi merugikan profesi dokter lainnya.
“Sesuai dengan fatwa MKKEK 029 Tahun 2001, seorang dokter tidak diperbolehkan melakukan tindakan yang dapat merugikan sesama profesi tanpa dasar yang jelas. Dalam hal ini, biarlah Majelis Kehormatan Etik Kedokteran yang memutuskan jika ada pelanggaran etika,” ungkapnya.
Julianes mengingatkan masyarakat agar lebih bijak dalam menanggapi informasi yang beredar di media sosial, terutama yang menyangkut produk kesehatan dan keselamatan publik.
“Ayo kita patuh dan taat kepada konstitusi serta tidak menyebarkan informasi yang belum tentu benar. Jika ada dugaan pelanggaran dalam suatu produk, laporkan ke BPOM, bukan membuat asumsi sendiri yang bisa merugikan pihak lain,” tutupnya.
Artikel Terkait
Pemain “Para Pencari Tuhan Jilid 18” Bicara Tentang Disiplin Skrip dan Tantangan Artikulasi di Bulan Ramadan
AiNA THE END Rilis “Peerless Flowers”, Lagu Tema untuk Film “Mononoke the Movie: Chapter 2 – Hinezumi”
Carrie Coon Ungkap Alasan Suaminya, Tracy Letts, Tidak Cocok untuk The White Lotus Thailand
Fhan C8: Sepeda Listrik Tangguh untuk Petualangan dan Perkotaan